Jumat, 15 Maret 2013

Membangun Aceh dalam Kebersamaan dan Kedamaian


PEMILIHAN Kepala Pemerintah/Wakil Kepala Pemerintah Aceh telah berlangsung dengan sukses pada 9 April 2012 lalu, meskipun sebelumnya banyak pihak menyatakan kekuatiran atas proses demokrasi tersebut. Berbagai dinamika politik itu telah menjelaskan kepada kita secara terang benderang, bahwa kedewasaan berpolitik rakyat Aceh tidak pantas diragukan lagi.

Rakyat secara dominan telah memberi kepercayaan kepada Partai Aceh dengan memberi suara hingga dr. H. Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf ditetapkan sebagai pemenang setelah merperoleh dukungan 1.327.695 suara atau  55,78 persen.

Irwandi Yusuf hanya mampu mengumpulkan 694.515 suara atau 29,18 persen. Sementara Muhammad Nazar-Nova Iriansyah mengumpulkan 182.876 suara atau 7,65 persen. Dua pasang calon perseorangan lainnya, Darni M. Daud dan Teungku Ahmad Tajuddin hanya memperoleh masing-masing 96.767 suara (4,07 persen) dan 79.330 suara (3,33 persen).

Partai Aceh juga mendominasi pemilihan diberbagai tingkat kabupaten/kota. Ini semua tidak terjadi dengan sendirinya, tentu didahului oleh proses-proses politik yang panjang. Dukungan rakyat ini adalah sebagai wujud kebersamaan untuk melanggengkan perdamaian yang menjadi prasyarat untuk kesejahteraan rakyat.
MOU Helsinki yang ditanda-tangani pada hari Senin tanggal 15 Agustus 2005 atas nama Pemerintah Republik Indonesia Hamid Awaluddin Menteri Hukum dan HAM, dan atas nama Pimpinan Gerakan Aceh Merdeka,  Malik Mahmud Al Haytar.

Point 1.2.1 MoU Helsinki yaitu: “Sesegera mungkin tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukkan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional”.

Lalu lahir Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesai Nomor 11 Tahun 2006, tentang Pemerintah Aceh,  BAB XI PARTAI POLITIK LOKAL,  Pasal 75 (1) Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal.
Kemudian pada tanggal 8 April 2008, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla dengan Meuntroe Malik Mahmud membuat kepastian hukum untuk berdirinya Partai Aceh.

Adapun visi Parta Aceh adalah:  "Membangun citra positif berkehidupan politik dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia serta melaksanakan mekanisme partai sesuai aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menjunjung tinggi Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki yang telah ditanda tangani pada tanggal lima belas Agustus (15-08-2005) antara Pemerintahan Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka."

Sedangkan misinya: "Mentransformasi dan atau membangun wawasan berpikir Masyarakat Aceh dari citra revolusi party menjadi citra Development Party dalam tatanan transparansi untuk kemakmuran hidup rakyat Aceh khususnya dan Bangsa Indonesia."

*****

Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, berdirinya  Boedi Oetomo, selanjutnya   pada 1912  berdirilah Partai Politik pertama Indische Partij dalam bingkai Belanda. Meski dalam zaman dan semangat yang berbeda, Partai Aceh yang lahir 8 April 2008 dengan diawali penandatangani kesepahaman bersama 15 Agustus 2005 di Helsinki, Filandia, Bisa juga dipandang sebagai kebangkitan Aceh untuk kesekian kali pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945; pasang surut hubungan Aceh dan Indonesia telah diabadikan dalam lembaran-lembaran sejarah, Aceh juga pernah membuat ikrar perdamaian dengan Indoensia yang mendatai berakhirnya gejolak politik DI/TII pada tahun 1957, yang dikenal dengan IKRAR LAMTEH.

*****

Kepala/Waki Kepala Pemerinta Aceh Terpilih, dr. H. Zaini Abdullah – Tgk. Muzakir Manaf, bersama Pemangku Wali Nanggroe, Malik Mahmud Al Haytar, Pimpinan Partai Aceh lainnya meskipun belum dilantik terus membangun komunikasi dan membangun akses pemerintahan Aceh dengan Jakarta, dan dengan pemangku kepentingan lainnya, tentu hal ini bertujuan adanya harmonisasi, guna mewujudkan cita-cita perdamaian Aceh.

Sasarannya sudah jelas sesuai dengan visi-misi Kepala /Wakil Kepala Pemerintah Aceh Priode 2012 – 2017 menciptakan kemandirian dan kesejahteraan, dengan memperkuat bidang capital (dana dan peralatan), mengerahkan potensi modal dan political will untuk menggali sumber daya alam (SDA), guna menghasilkan dana untuk meningkatkan  
kualitas-kuantitas sumber daya manusia (SDM).
Memperkuat science dan technology, serta meningkatkan pendidikan dan teknologi untuk menghasilkan tenaga ahli di berbagai bidang untuk menjadi teknokrat (pendamping pemerintah Aceh) dan tenaga  teknis di lapangan.

Re-empowering management (penguatan manajemen)  pemerintahan. Di mana, meningkatkan kualitas pelayanan kepada  masyarakat, mencegah dan memberantas korupsi kolusi dan nepotisme  (KKN), dengan memperbaiki sistem birokrasi pemerintahan dan penegakanhukum. Karena, selama ini mayoritas para birokrat dan penegak hukum  
bobrok integritas moralnya.

Peluang ini bukan tidak ada tantangan, terutama implementasi MoU-UUPA  
dan pembangunan. Setidaknya,  permasalahan penyelarasan MoU Helsynki dengan UUPA pada beberapa poin serta memastikan PP, serta Qanun sebagian turunan dari UUPA;

Sejalan dengan realitas tersebut, menjadi harapan bersama Zaini-Muzakir akan  dapat menjalankan MoU/UUPA dan pembentukan sekitar 60- an qanun serta pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Terjalinnya, kebersamaan masyarakat, tokoh-tokoh Aceh, politisi, intelektual, cendikiawan,  
ulama, serta civil society (masyarakat sipil), harmonisasi dan bargaining politic dengan pemerintahan pusat, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka ke depan di samping perlu komitmen dan konsistensi  Jakarta, juga harus adanya persamaan persepsi dan aksi 
politik (legislatif dan eksekutif),

Oleh: Wakil Ketua Partai Aceh; Kamaruddin Abubakar (Abu Razak)
Disampaikan Pada Seminar LPMA, Tanggal 20 Mei 2012 di Hotel Lading, Banda Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar